Senin, 14 Oktober 2013

Keberagaman Agama: Kekayaan Atau Ancaman?





 orang sudah mati kok ya masih saja dikubur dipemakaman yang terpisah dari agama lain ya!” ungkap teman saya tempo hari ketika melihat maraknya tempat pemakaman yang hanya menampung pemeluk agama tertentu saja. Ungkapan ini cukup mengusik pikiran saya, saya jadi teringat juga ketika hendak mencari kos – kosan di Yogyakarta, dengan penuh semangat saya membaca tulisan “Menerima Kost” tetapi ketika saya dekati ternyata tulisan tersebut masih berlanjut dengan kriteria beragama tertentu. Demikian halnya dengan beberapa perumahan yang saya dapati berlabel agama tertentu. Namun, saya belum tahu apakah fenomena pengelompokkan diri berdasarkan agama yang sama tersebut juga terjadi di kota – kota lain.
Keberagaman Agama di negara kita sering dielu – elukan sebagai keindahan dan kekayaan bangsa kita. Namun, jika melihat fenomena pengelompokkan seseorang berdasarkan agama tersebut, saya jadi  berpikir masihkah keberagaman agama di Indonesia menjadi keindahan dan kekayaan bangsa kita? Jangan – jangan keberagaman agama justru menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa kita?Bagaimana tidak, pengelompokkan ini jelas membangun dinding pemisah antara penganut agama A dan Penganut agama B, dinding ini pula yang memperjelas bahwa penganut agama A dan penganut agama B berbeda sehingga harus dipisahkan. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat benar – benar merasakan bahwa keberagaman agama itu sebagai keindahan dan kekayaan jika kita hanya berada di lingkungan dengan pemeluk agama yang sama?  Dan bagaimana kita dapat membangun kerukunan antar umat beragama jika kita hanya mengenal pemeluk agama yang sama?
Pengelompokkan – pengelompokkan berdasarkan agama yang sama memang bukan pemandangan yang baru bagi kita. Sejak play group anak disekolahkan di lingkungan sekolah yang muridnya seagama, di sekolah lanjutan anak belajar agama dikelompok – kelompokkan berdasarkan agama yang sama, tinggal di perumaham yang seagama, bekerja bahkan sampai meninggalpun dikubur di pemakaman orang – orang yang seagama.
 Pengelompokkan seseorang berdasarkan agama yang sama tersebut memang bukan tanpa alasan. Pada masa orde baru, pengelompokkan tersebut bahkan sengaja dibuat demi mempertegas garis pembeda antara agama yang satu dengan agama yang lain sehingga sinkretisme agama tidak terjadi dan kemurnian ajaran suatu agama tetap terjaga. Hal ini mengingat sinkretisme agama merupakan bidah yang menyesatkan. Dengan demikian, membicarakan masalah agama dengan penganut agama yang lain adalah hal yang riskan untuk dilakukan. Khusus dalam bidang pendidikan agama di sekolah, peserta didik dipisahkan berdasarkan agamanya masing – masing karena dianggap sudah sewajarnya demikian mengingat setiap agama mempunyai sistem kepercayaan yang berbeda, yang tidak mungkin disandingkan secara bersama dalam pendidikan agama(Interfidei, 2007).
Pengelompokkan seseorang berdasarkan agamanya mungkin menjawab masalah kemurnian ajaran suatu agama tetapi belum bahkan tidak menjawab masalah konflik berlatarbelakang agama yang terus terjadi di Indonesia. Kompas.com(2012) mengemukakan bahwa setidaknya 65 % dari total 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia pasca reformasi adalah kekerasan yang dilatarbelakangi oleh agama. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan apalagi kasus kekerasan berlatarbelakang agama tersebut merupakan kasus diskriminasi terbanyak dibanding kasus diskriminasi lain seperti diskriminasi terhadap etnis, gender dan orientasi seksual. Dialog – dialog antar tokoh agama sering dilakukan tetapi konflik berbau agama masih saja menghiasi layar televisi kita. Konflik – konflik tersebut jelas secara tidak langsung akan membangun cara pandang kita terhadap agama lain. Padahal jika cara pandang kita tehadap agama lain terbentuk dari konflik tersebut maka jelas hal – hal buruklah yang akan kita dapatkan dari agama lain karena konflik tentu tidak akan pernah menyajikan keindahan. Oleh sebab itu, tidak sedikit konflik lain terjadi karena sudut pandang yang salah kemudian ditambah dengan kecurigaan – kecurigaan terhadap agama lain.
Melihat realitas tersebut,  mengenal dengan benar siapa, apa dan bagaimana agama lain perlu kita lakukan agar kita memiliki sudut pandang yang benar akan agama lain. Cara yang paling efektif untuk mengenal agama lain adalah dengan berinteraksi langsung dengan penganut agama lain. Dengan berinteraksi langsung maka kita bukan hanya belajar tentang agama lain melainkan juga membangun persaudaraan. Interaksi langsung juga memungkinakan kita memiliki sudut pandang yang benar terhadap agama lain sehingga kecurigaan – kecurigaan terhadap agama lain yang memicu konflik dapat dilenyapkan. Namun bagaimana interaksi ini dapat dilakukan jika kita cukup nyaman dilingkungan yang seagama? Semoga kita segera sadar bahwa Indonesia benar – benar Bhineka dan memiliki hati untuk mewujudkan semboyan bangsa kita “BHINEKA TUNGGAL IKA”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar