“orang
sudah mati kok ya masih saja dikubur dipemakaman yang terpisah dari agama lain
ya!” ungkap teman saya tempo hari ketika melihat maraknya tempat pemakaman
yang hanya menampung pemeluk agama tertentu saja. Ungkapan ini cukup mengusik
pikiran saya, saya jadi teringat juga ketika hendak mencari kos – kosan di
Yogyakarta, dengan penuh semangat saya membaca tulisan “Menerima Kost” tetapi
ketika saya dekati ternyata tulisan tersebut masih berlanjut dengan kriteria
beragama tertentu. Demikian halnya dengan beberapa perumahan yang saya dapati
berlabel agama tertentu. Namun, saya belum tahu apakah fenomena pengelompokkan
diri berdasarkan agama yang sama tersebut juga terjadi di kota – kota lain.
Keberagaman Agama di negara kita sering
dielu – elukan sebagai keindahan dan kekayaan bangsa kita. Namun, jika melihat
fenomena pengelompokkan seseorang berdasarkan agama tersebut, saya jadi berpikir masihkah keberagaman agama di
Indonesia menjadi keindahan dan kekayaan bangsa kita? Jangan – jangan
keberagaman agama justru menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa kita?Bagaimana
tidak, pengelompokkan ini jelas membangun dinding pemisah antara penganut agama
A dan Penganut agama B, dinding ini pula yang memperjelas bahwa penganut agama
A dan penganut agama B berbeda sehingga harus dipisahkan. Masalahnya adalah
bagaimana kita dapat benar – benar merasakan bahwa keberagaman agama itu
sebagai keindahan dan kekayaan jika kita hanya berada di lingkungan dengan pemeluk
agama yang sama? Dan bagaimana kita
dapat membangun kerukunan antar umat beragama jika kita hanya mengenal pemeluk
agama yang sama?
Pengelompokkan – pengelompokkan
berdasarkan agama yang sama memang bukan pemandangan yang baru bagi kita. Sejak
play group anak disekolahkan di
lingkungan sekolah yang muridnya seagama, di sekolah lanjutan anak belajar
agama dikelompok – kelompokkan berdasarkan agama yang sama, tinggal di
perumaham yang seagama, bekerja bahkan sampai meninggalpun dikubur di pemakaman
orang – orang yang seagama.
Pengelompokkan seseorang berdasarkan agama
yang sama tersebut memang bukan tanpa alasan. Pada masa orde baru, pengelompokkan
tersebut bahkan sengaja dibuat demi mempertegas garis pembeda antara agama yang
satu dengan agama yang lain sehingga sinkretisme agama tidak terjadi dan
kemurnian ajaran suatu agama tetap terjaga. Hal ini mengingat sinkretisme agama
merupakan bidah yang menyesatkan. Dengan demikian, membicarakan masalah agama
dengan penganut agama yang lain adalah hal yang riskan untuk dilakukan. Khusus
dalam bidang pendidikan agama di sekolah, peserta didik dipisahkan berdasarkan
agamanya masing – masing karena dianggap sudah sewajarnya demikian mengingat
setiap agama mempunyai sistem kepercayaan yang berbeda, yang tidak mungkin
disandingkan secara bersama dalam pendidikan agama(Interfidei, 2007).
Pengelompokkan seseorang
berdasarkan agamanya mungkin menjawab masalah kemurnian ajaran suatu agama
tetapi belum bahkan tidak menjawab masalah konflik berlatarbelakang agama yang
terus terjadi di Indonesia. Kompas.com(2012) mengemukakan bahwa setidaknya 65 %
dari total 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia
pasca reformasi adalah kekerasan yang dilatarbelakangi oleh agama. Kenyataan
ini tentu sangat memprihatinkan apalagi kasus kekerasan berlatarbelakang agama
tersebut merupakan kasus diskriminasi terbanyak dibanding kasus diskriminasi
lain seperti diskriminasi terhadap etnis, gender dan orientasi seksual. Dialog
– dialog antar tokoh agama sering dilakukan tetapi konflik berbau agama masih
saja menghiasi layar televisi kita. Konflik – konflik tersebut jelas secara
tidak langsung akan membangun cara pandang kita terhadap agama lain. Padahal
jika cara pandang kita tehadap agama lain terbentuk dari konflik tersebut maka
jelas hal – hal buruklah yang akan kita dapatkan dari agama lain karena konflik
tentu tidak akan pernah menyajikan keindahan. Oleh sebab itu, tidak sedikit
konflik lain terjadi karena sudut pandang yang salah kemudian ditambah dengan
kecurigaan – kecurigaan terhadap agama lain.
Melihat
realitas tersebut, mengenal dengan benar
siapa, apa dan bagaimana agama lain perlu kita lakukan agar kita memiliki sudut
pandang yang benar akan agama lain. Cara yang paling efektif untuk mengenal
agama lain adalah dengan berinteraksi langsung dengan penganut agama lain.
Dengan berinteraksi langsung maka kita bukan hanya belajar tentang agama lain
melainkan juga membangun persaudaraan. Interaksi langsung juga memungkinakan
kita memiliki sudut pandang yang benar terhadap agama lain sehingga kecurigaan
– kecurigaan terhadap agama lain yang memicu konflik dapat dilenyapkan. Namun
bagaimana interaksi ini dapat dilakukan jika kita cukup nyaman dilingkungan
yang seagama? Semoga kita segera sadar bahwa Indonesia benar – benar Bhineka
dan memiliki hati untuk mewujudkan semboyan bangsa kita “BHINEKA TUNGGAL IKA”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar