Sabtu, 22 Desember 2012

Kisah Perjuangan Seorang Ibu



Perempuan kerap kali dilekatkan dengan keadaan yang lemah, manja, cengeng dan hal – hal lain yang cenderung melankolis. Hal ini berbeda dengan gambaran sosok pria yang lekat dengan sosok yang kuat, tanggung dan sebagainya. Akan tetapi, sosok perempuan yang lekat dengan hal – hal lemah tersebut ternyata tidak saya temui dari sosok ibu saya, perempuan paling tangguh yang pernah saya temui.
Ibu saya  terlahir ditengah keluarga  jawa yang kental dengan budaya patriakat. Kakek saya adalah seorang ‘kemakmuran’ (salah satu pejabat desa pada tahun 40-an) yang juga cukup disegani oleh masyarakat pada waktu itu.  Ibu saya anak ke dua dari sembilan bersaudara yang terdiri dari dua perempuan dan tujuh laki – laki. Seperti umumnyan pada waktu itu (sekitar tahun 40-an), ibu saya dilarang sekolah dengan alasan perempuan hanya bertugas di dapur maka tidak perlu sekolah. Meskipun demikian, setiap kali menggembalakan kambing, ibu saya ‘mencuri’ sekolah dengan mengintip proses belajar mengajar di sekolah dan kemudian belajar sendiri menulis dan membaca sehingga sampai saat ini ibu saya masih bisa membaca dan menulis (berbeda dengan perempuan seangkatannya yang sama sekali tidak bisa baca-tulis).
Pada usia 12 tahun ibu saya sudah dinikahkan dengan seorang pria pilihan orangtuanya (kakek-nenek saya). Oleh karena ibu saya belum mengerti apa itu suami maka pernikahan itu pun tak berlanjut. Namun ternyata kakek saya tidak menyerah, beliau tetap menjodohkan lagi dengan pria pilihannya (yang menurut beliau setara dengan kedudukan keluarga) namun gagal lagi hingga tiga kali. Singkat cerita ibu saya menikah dengan pilihannya sendiri (ayah saya) yang notabene hanya seorang penjual ‘klitik-an’  dan kemudian mengikuti suaminya transmigari ke lampung meskipun tentu mendapat pertentangan keras dari keluarga kakek saya.
Selama 30 tahun di lampung, ayah saya sering sakit – sakitan sehingga tidak jarang ibu saya yang kerja serabutan untuk mencukupi kebutuan keluarga. Hingga akhirnya pada tahun 1993 ayah saya meninggal. Peristiwa ini cukup membuat ibu saya stres berat sampai sulit untuk diajak berbicara dan lebih suka melamun. Beliau pernah bercerita bahwa hal yang paling membuatnya stres adalah bagaimana dia membesarkan tujuh anak nya yang sebagian besar masih kecil – kecil tanpa suami yang menjadi tulang punggung keluarga.
Beberapa waktu lamanya akhirnya ibu saya sadar akan perannya dalam keluarga yaitu sebagai single parent yang juga bertanggungjawab menafkahi keluarga. Setelah itu beliau memutuskan untuk berjualan daun singkong dan genjer di pasar pada pagi hari, selanjutnya dia menggarap sawah kemudian membuat ‘tiwul’(makanan pengganti nasi dari singkong) pada sore harinya untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Pekerjaan ini dilakoninya cukup lama hingga muncul perkebunan swasta di desa saya dan ibu saya bekerja sebagai buruh di tempat tersebut bersama  kakak – kakak saya yang telah  lulus SD. Sejak ditinggal ayah saya, ibu saya juga memutuskan untuk tidak menikah lagi karena bagi beliau yang terpenting adalah bagaimana agar anak – anaknya dapat tumbuh sehat dan beliau dapat menafkahi keluarga.
Saat ini 5 kakak saya sudah menikah dan ibu saya sendiri sudah tidak bekerja karena memang kami anak – anaknya meminta agar beliau menikmati masa tuanya. Umur ibu saya saat ini kurang lebih tujuh puluh tahun. Hal yang sering dikatakan beliau ketika mengenang perjuangannya dalam  membesarkan anak-anaknya adalah ‘kok iso yo jaman susah ngono aku iso nggedek’ke anak-anakku’ (bahasa jawa artinya kok bisa ya pada zaman susah begitu aku bisa membesarkan anak-anakku).
Kisah ibu saya di atas adalah sebagian kecil dari banyaknya kisah perempuan di Indonesia yang berjuang keras demi dirinya dan keluarga di balik kepincangan peran laki – laki dan perempuan. Saya yakin masih banyak ibu - ibu lain seperti ibu saya yang sendirian membesarkan anak – anaknya dalam kemiskinan dan menjadi tulang punggung keluarga karena berbagai alasan. Namun inti yang ingin saya angkat dari kisah ini adalah bagaimana perempuan itu harus mandiri dan tidak hanya bergantung pada suami.  Hal inilah kiranya yang menjadi kesadaran bagi para perempuan bahwa berbicara mengenai kesetaraan perempuan dan laki – laki hendaknya didasari atas kesadaran bahwa perempuan harus mandiri serta dapat menyadari kekuatan yang ada dalam dirinya.
Sebagai seorang gadis tidak jarang ketika saya berbincang – bincang dengan teman – teman saya, umumnya mereka mengharapkan suami yang kaya dan mapan atau setidaknya kalau tidak kaya yang penting ‘cukup’ ( cukup satu rumah mewah, cukup satu mobil mewah, cukup dengan tabungan Rp. 1 M) dan jarang memikirkan bagaimana sebagai perempuan bisa me’mapan’kan diri sendiri tanpa harus menunggu  pangeran kaya melamarnya. Hal ini sering dianggap wajar, toh perempuan akhirnya ikut suami. Namun hal ini akan menjadi tidak wajar saat seorang perempuan menghadapi hal seperti yang ibu saya alami ataupun peristiwa lain dimana perempuan dipaksa oleh keadaannya untuk bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga.  
Oleh sebab itu, berangkat dari kisah ibu saya di atas setidaknya saya menemukan  ada beberapa hal yang perlu disiapkan perempuan dalam berproses menjadi perempuan mandiri , Pertama – tama mengubah pemahaman tentang suami sebagai tulang punggung keluarga. Selama ini laki – laki selalu dilekatkan dengan sosok tulang punggung keluarga yang artinya segala  ‘income’ keluarga adalah urusan laki  laki dan dengan sukarela laki – laki menerima ini sebagai kodrat mereka meskipun pada kenyataannya terdapat laki – laki yang tidak sanggup memikul tanggungjawab tersebut sehingga sering pula hal ini menjadi masalah dalam keluarga.  Sebagai contoh seorang Istri memiliki pendidikan lebih tinggi dari suami dan dalam hal pekerjaan, istri memiliki gaji lebih tinggi dari pada suami. Hal ini kerap menjadi tekanan bagi suami dan sang istri tidak jarang juga menambah tekanan itu dengan gerutu bahkan celaan.  Oleh sebab itu, baik perempuan maupun laki – laki hendaknya mulai mengubah pemahaman tersebut dan secara bersama – sama mengusahakan yang terbaik untuk keluarga. Artinya perempuan juga menanggung tanggung jawab yang sama untuk mengusahakan pemenuhan kebutuhan keluarga dan laki – laki juga harus berbesar hati menyadari ini sebagai tanggung jawab bersama.

Kedua bekali diri dengan pengetahuan dan ketrampilan. Fakta menarik dalam diskusi Gender dan Feminis mengenai KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) adalah bahwa perempuan enggan melaporkan suaminya yang adalah pelaku kekerasan karena suami adalah satu – satunya sumber keuangan keluarga. Pertanyaan mereka, bagaimana jika suami dipenjara, siapa yang menghidupi keluarga. Oleh sebab itu, banyak istri membiarkan dirinya menjadi korban kekerasan suami karena ketakutan tersebut. Fakta ini kiranya dapat menjadi pencerahan bagi perempuan khususnya untuk membekali diri dengan pengetahuan dan ketrampilan.
Meskipun tentu semua orang tidak menginginkan hal buruk terjadi dalam keluarganya namun alangkah baiknya jika seorang perempuan juga memikirkan kemapanan dirinya atau setidaknya membekali dirinya dengan ketrampilan dan pengetahuan sehingga tidak “kelabakkan” saat suami tiada atau penghasilan suami tidak mencukupi.

Ketiga bicarakan peran anda dan pasangan sejak pacaran. Hal yang menarik, yang saya dapatkan dari sharing pengalaman teman saya sewaktu workshop gender  yaitu bahwa beliau mulai membicarakan pembagiaan peran suami – istri dalam keluarga yang dibangunnya sejak pacaran. Saya rasa hal ini dapat kita contoh, sejak pacaran kita mulai membuat kespakatan – kesepakatn dengan pacar/calon suami tentang perannya masing – masing dalam keluarga nantinya. Hal ini juga bermanfaat untuk menyamakan pemahaman tentang kesetaraan Gender sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaannya nantinya. Artinya jika hanya perempuan yang sangat giat memperjuangkan keadilan gender dalam keluarga tanpa dipahami sang suami tentu hal ini akan menjadi masalah dimana perempuan seolah justru menindas sang suami. Oleh sebab itu, menyamakan pemahaman tentang kesetaraan gender dalam keluarga sebelum menikah menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Akhirnya, marilah kita dalam semangat kesetaraan gender menjadi perempuan yang mandiri dan merdeka artinya menyadari dengan sungguh bahwa kita memiliki kekuatan dan menggunakan kekuatan tersebut untuk melengkapi dan menyempurnakan orang lain terlebih laki – laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar