Perempuan kerap kali
dilekatkan dengan keadaan yang lemah, manja, cengeng dan hal – hal lain yang
cenderung melankolis. Hal ini berbeda dengan gambaran sosok pria yang lekat
dengan sosok yang kuat, tanggung dan sebagainya. Akan tetapi, sosok perempuan
yang lekat dengan hal – hal lemah tersebut ternyata tidak saya temui dari sosok
ibu saya, perempuan paling tangguh yang pernah saya temui.
Ibu saya terlahir ditengah keluarga jawa yang kental dengan budaya patriakat.
Kakek saya adalah seorang ‘kemakmuran’ (salah satu pejabat desa pada tahun
40-an) yang juga cukup disegani oleh masyarakat pada waktu itu. Ibu saya anak ke dua dari sembilan bersaudara yang
terdiri dari dua perempuan dan tujuh laki – laki. Seperti umumnyan pada waktu
itu (sekitar tahun 40-an), ibu saya dilarang sekolah dengan alasan perempuan hanya
bertugas di dapur maka tidak perlu sekolah. Meskipun demikian, setiap kali
menggembalakan kambing, ibu saya ‘mencuri’ sekolah dengan mengintip proses belajar
mengajar di sekolah dan kemudian belajar sendiri menulis dan membaca sehingga
sampai saat ini ibu saya masih bisa membaca dan menulis (berbeda dengan
perempuan seangkatannya yang sama sekali tidak bisa baca-tulis).
Pada usia 12 tahun ibu saya
sudah dinikahkan dengan seorang pria pilihan orangtuanya (kakek-nenek saya).
Oleh karena ibu saya belum mengerti apa itu suami maka pernikahan itu pun tak
berlanjut. Namun ternyata kakek saya tidak menyerah, beliau tetap menjodohkan
lagi dengan pria pilihannya (yang menurut beliau setara dengan kedudukan
keluarga) namun gagal lagi hingga tiga kali. Singkat cerita ibu saya menikah
dengan pilihannya sendiri (ayah saya) yang notabene hanya seorang penjual ‘klitik-an’ dan kemudian mengikuti suaminya transmigari
ke lampung meskipun tentu mendapat pertentangan keras dari keluarga kakek saya.
Selama 30 tahun di lampung,
ayah saya sering sakit – sakitan sehingga tidak jarang ibu saya yang kerja
serabutan untuk mencukupi kebutuan keluarga. Hingga akhirnya pada tahun 1993 ayah
saya meninggal. Peristiwa ini cukup membuat ibu saya stres berat sampai sulit
untuk diajak berbicara dan lebih suka melamun. Beliau pernah bercerita bahwa hal
yang paling membuatnya stres adalah bagaimana dia membesarkan tujuh anak nya
yang sebagian besar masih kecil – kecil tanpa suami yang menjadi tulang
punggung keluarga.
Beberapa waktu lamanya akhirnya
ibu saya sadar akan perannya dalam keluarga yaitu sebagai single parent yang juga bertanggungjawab menafkahi keluarga.
Setelah itu beliau memutuskan untuk berjualan daun singkong dan genjer di pasar
pada pagi hari, selanjutnya dia menggarap sawah kemudian membuat
‘tiwul’(makanan pengganti nasi dari singkong) pada sore harinya untuk dijual
dan dikonsumsi sendiri. Pekerjaan ini dilakoninya cukup lama hingga muncul
perkebunan swasta di desa saya dan ibu saya bekerja sebagai buruh di tempat
tersebut bersama kakak – kakak saya yang
telah lulus SD. Sejak ditinggal ayah
saya, ibu saya juga memutuskan untuk tidak menikah lagi karena bagi beliau yang
terpenting adalah bagaimana agar anak – anaknya dapat tumbuh sehat dan beliau
dapat menafkahi keluarga.
Saat ini 5 kakak saya sudah
menikah dan ibu saya sendiri sudah tidak bekerja karena memang kami anak –
anaknya meminta agar beliau menikmati masa tuanya. Umur ibu saya saat ini
kurang lebih tujuh puluh tahun. Hal yang sering dikatakan beliau ketika
mengenang perjuangannya dalam membesarkan anak-anaknya adalah ‘kok iso yo
jaman susah ngono aku iso nggedek’ke anak-anakku’ (bahasa jawa artinya kok bisa ya pada zaman susah begitu aku bisa
membesarkan anak-anakku).
Kisah ibu saya di atas adalah
sebagian kecil dari banyaknya kisah perempuan di Indonesia yang berjuang keras
demi dirinya dan keluarga di balik kepincangan peran laki – laki dan perempuan.
Saya yakin masih banyak ibu - ibu lain seperti ibu saya yang sendirian
membesarkan anak – anaknya dalam kemiskinan dan menjadi tulang punggung
keluarga karena berbagai alasan. Namun inti yang ingin saya angkat dari kisah
ini adalah bagaimana perempuan itu harus mandiri dan tidak hanya bergantung
pada suami. Hal inilah kiranya yang
menjadi kesadaran bagi para perempuan bahwa berbicara mengenai kesetaraan
perempuan dan laki – laki hendaknya didasari atas kesadaran bahwa perempuan
harus mandiri serta dapat menyadari kekuatan yang ada dalam dirinya.
Sebagai seorang gadis tidak
jarang ketika saya berbincang – bincang dengan teman – teman saya, umumnya
mereka mengharapkan suami yang kaya dan mapan atau setidaknya kalau tidak kaya
yang penting ‘cukup’ ( cukup satu rumah mewah, cukup satu mobil mewah, cukup
dengan tabungan Rp. 1 M) dan jarang memikirkan bagaimana sebagai perempuan bisa
me’mapan’kan diri sendiri tanpa harus
menunggu pangeran kaya melamarnya. Hal
ini sering dianggap wajar, toh perempuan akhirnya ikut suami. Namun hal ini
akan menjadi tidak wajar saat seorang perempuan menghadapi hal seperti yang ibu
saya alami ataupun peristiwa lain dimana perempuan dipaksa oleh keadaannya
untuk bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga.
Oleh sebab itu, berangkat
dari kisah ibu saya di atas setidaknya saya menemukan ada beberapa hal yang perlu disiapkan
perempuan dalam berproses menjadi perempuan mandiri , Pertama – tama mengubah pemahaman
tentang suami sebagai tulang punggung keluarga. Selama ini laki – laki
selalu dilekatkan dengan sosok tulang punggung keluarga yang artinya segala ‘income’ keluarga adalah urusan laki laki dan dengan sukarela laki – laki menerima
ini sebagai kodrat mereka meskipun pada kenyataannya terdapat laki – laki yang
tidak sanggup memikul tanggungjawab tersebut sehingga sering pula hal ini
menjadi masalah dalam keluarga. Sebagai
contoh seorang Istri memiliki pendidikan lebih tinggi dari suami dan dalam hal
pekerjaan, istri memiliki gaji lebih tinggi dari pada suami. Hal ini kerap
menjadi tekanan bagi suami dan sang istri tidak jarang juga menambah tekanan
itu dengan gerutu bahkan celaan. Oleh
sebab itu, baik perempuan maupun laki – laki hendaknya mulai mengubah pemahaman
tersebut dan secara bersama – sama mengusahakan yang terbaik untuk keluarga.
Artinya perempuan juga menanggung tanggung jawab yang sama untuk mengusahakan
pemenuhan kebutuhan keluarga dan laki – laki juga harus berbesar hati menyadari
ini sebagai tanggung jawab bersama.
Kedua bekali diri dengan
pengetahuan dan ketrampilan. Fakta menarik dalam
diskusi Gender dan Feminis mengenai KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) adalah
bahwa perempuan enggan melaporkan suaminya yang adalah pelaku kekerasan karena
suami adalah satu – satunya sumber keuangan keluarga. Pertanyaan mereka,
bagaimana jika suami dipenjara, siapa yang menghidupi keluarga. Oleh sebab itu,
banyak istri membiarkan dirinya menjadi korban kekerasan suami karena ketakutan
tersebut. Fakta ini kiranya dapat menjadi pencerahan bagi perempuan khususnya
untuk membekali diri dengan pengetahuan dan ketrampilan.
Meskipun tentu semua orang
tidak menginginkan hal buruk terjadi dalam keluarganya namun alangkah baiknya
jika seorang perempuan juga memikirkan kemapanan dirinya atau setidaknya
membekali dirinya dengan ketrampilan dan pengetahuan sehingga tidak “kelabakkan” saat suami tiada atau
penghasilan suami tidak mencukupi.
Ketiga bicarakan peran anda
dan pasangan sejak pacaran. Hal yang menarik, yang
saya dapatkan dari sharing pengalaman teman saya sewaktu workshop gender yaitu bahwa beliau mulai membicarakan
pembagiaan peran suami – istri dalam keluarga yang dibangunnya sejak pacaran.
Saya rasa hal ini dapat kita contoh, sejak pacaran kita mulai membuat
kespakatan – kesepakatn dengan pacar/calon suami tentang perannya masing –
masing dalam keluarga nantinya. Hal ini juga bermanfaat untuk menyamakan
pemahaman tentang kesetaraan Gender sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam
pelaksanaannya nantinya. Artinya jika hanya perempuan yang sangat giat
memperjuangkan keadilan gender dalam keluarga tanpa dipahami sang suami tentu
hal ini akan menjadi masalah dimana perempuan seolah justru menindas sang
suami. Oleh sebab itu, menyamakan pemahaman tentang kesetaraan gender dalam
keluarga sebelum menikah menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Akhirnya, marilah kita dalam
semangat kesetaraan gender menjadi perempuan yang mandiri dan merdeka artinya
menyadari dengan sungguh bahwa kita memiliki kekuatan dan menggunakan kekuatan
tersebut untuk melengkapi dan menyempurnakan orang lain terlebih laki – laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar